Menteri PPN: Bonus demograsi untuk hindari jebakan kelas menengah

bnigriyaexpo.com – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menekankan bahwa pemerintah berupaya memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki untuk menghindari jebakan kelas menengah atau middle income trap.

Menteri PPN menyampaikan bahwa hal itu dibahas dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo mengenai laporan paruh waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta laporan pendahuluan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa.

“Kita harus mampu mengambil langkah ke depan untuk pertama menghindari middle income trap dan memanfaatkan bonus demografi,” kata Suharso dalam keterangan pers selepas ratas di Kantor Presiden.

Menurut Suharso, Indonesia kini hanya memiliki sisa waktu 18 tahun untuk meniru kisah sukses beberapa negara dalam memanfaatkan bonus demografi.

Suharso mencontohkan salah satu kisah sukses tersebut adalah Korea Selatan yang berhasil membuat Gross National Income (GNI) per kapita meningkat berkali-kali lipat di tengah periode puncak bonus demografi.

“Contohnya, Korea Selatan dari 3.530 (dolar AS) ketika mereka memulai dengan bonus demografinya, sekarang tersisa lima tahun tapi mereka sudah sampai dengan 35.000 dolar AS per kapita. Kita juga ingin seperti itu,” katanya.

Dalam ratas tersebut, Menteri PPN juga telah menyampaikan potret Bappenas mengenai perkembangan selama lebih kurang 20 tahun terakhir sejak 2004 bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,01 persen, termasuk capaian 5,37 persen pada 2022.

Menurut Suharso, salah satu kunci lain untuk melepaskan diri dari jebakan kelas menengah adalah pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen.

“Agar kita mampu graduasi dari jebakan negara berpenghasilan menengah, karena kita sudah 30 tahun di middle income trap,” ujarnya.

Suharso juga telah menyampaikan beberapa faktor mengapa Indonesia relatif lama tertahan dalam jebakan kelas menengah, yakni karena total factor productivity yang cenderung menurun dan level produktivitas per pekerja masih rendah dibandingkan negara-negara industri yang lainnya.

Selain itu, masih ada juga ketimpangan GNI per kapita antarprovinsi dan terdapat sedikitnya 20 provinsi yang berada dalam kategori lower middle income atau pendapatan menengah bawah.

“Pendapatannya di bawah 4.200-an (dolar AS), termasuk provinsi-provinsi yang ada di Jawa, yaitu Banten, DI Yogyakarta, Jawa Barat, serta Jawa Tengah,” kata Suharso.

Sementara provinsi dengan pendapatan menengah justru sebagian besar berada di luar Pulau Jawa seperti Riau, Kalimantan Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan. Sedangkan Jawa Timur menjadi satu-satunya provinsi di Pulau Jawa dengan pendapatan menengah.

Selanjutnya DKI Jakarta sudah mencapai kategori pendapatan tinggi diikuti Kalimantan Timur yang sudah mendekati kategori tersebut.

“Ini juga bisa kita periksa dari dana alokasi umum yang diperoleh per provinsi atau kabupaten/kota,” kata Suharso.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!